Api Jiwa - cerpen by Bintang Lanang Saridaka
Seorang anak berjalan tertatih-tatih di trotoar jalanan kota X, di lengan kanannya ia membawa sebuah tas keranjang berukuran sedang berisi korek api kayu, dia memang seorang penjual korek api kayu. Karena satu hal dan yang lain dia terpaksa menjual korek api kayu itu. Hari itu penjualan korek api sedang tidak bagus, dari pagi hingga waktu menjelang petang dia baru dapat menjual tiga buah korek api, sedangkan untuk bisa pulang dia setidaknya harus bisa menjual satu keranjang korek api kayu tersebut. Cuaca mendung sore itu perlahan berubah menjadi gerimis kemudian menjadi hujan lebat, si anak yang merasa kelelahan beristirahat dibawah fly over, bersandar disalah satu tiang fly over yang begitu besar, anak itu tanpa sadar terlelap karena terlalu lelah.
Jalanan sudah sepi ketika anak tersebut bangun, dengan perasaan yang sedih dan takut dia memutuskan untuk kembali kerumahnya. Saat dalam perjalanan pulang si anak akan berhenti setiap bertemu dengan lampu merah, berharap ada satu atau dua pengendara yang berhenti di lampu merah, sayangnya dari enam lampu merah yang dia temui dia sama sekali tidak mendapati satu mobil pun. Jalanan malam itu cukup sepi juga, tak seperti biasanya. “mungkin karena hujan” fikir anak tersebut. Setelah beberapa lama dia berhenti di lampu merah terakhir, dia memutuskan untuk kembali kerumahnya. Harapan anak itu berubah, dari berharap bertemu satu atau dua mobil yang berhenti di lampu merah, kini dia berharap bertemu satu atau dua orang dalam perjalanan pulang. Harapan itu kini harus pupus karena tak ada seorangpun yang dia temui malam itu.
Anak itu berjalan dengan ragu-ragu, wajahnya yang kusam semakin terlihat menyedihkan karena ekspresi muramnya. Beberapa blok dari rumahnya terdapat sebuah taman, anak itu berhenti disana, dia menimbang-nimbang lagi keputusannya untuk pulang malam itu, karena pulang tanpa membawa hasil penjualan tidak lebih baik daripada tidur di trotoar, sayangnya karena hari itu cuacanya sedang tidak menentu, kadang hujan turun dengan tiba-tiba, si anak tak bisa mengambil resiko membuat korek api kayunya basah, hal yang lebih mengerikan lagi jika itu terjadi. Pernah suatu ketika dia terpaksa membawa pulang korek api yang basah karena terkena hujan, hari itu dia disiksa habis-habisan dan sebagai hukuman dia tak diberi makan selama 3 hari.
Hari semakin larut malam itu, dia juga tak bisa menemukan tempat dimana dia bisa menjual korek apinya malam-malam begitu, akhirnya dia tiba pada kesimpulan bahwa dia harus pulang malam itu.
Ketika anak tersebut bersiap-siap untuk pulang, dia mendengar langkah kaki seseorang dari samping kirinya. Benar saja ada seseorang yang mendekat kepada anak tersebut. Orang itu memiliki perawakan yang tinggi, dan entah karena hoodie yang dikenakan terlalu besar atau karena tubuh orang itu yang terlalu kurus, hoodie yang dikenakannya terlihat seperti menggantung ditubuh orang tersebut. Anak itu terlalu senang karena harapannya terwujud, dia bertemu dengan seseorang!! Tak lagi dipikirkannya fakta bahwa seorang anak kecil bertemu dengan orang asing ditaman, di waktu yang hampir tengah malam. Dilihat dari sudut manapun itu bukanlah suatu hal yang wajar, namun apa memang ada hal wajar yang pernah terjadi atau dialami anak tersebut sepanjang hidupnya, anak itu tak yakin. Jadi ketika orang asing itu mendekati anak tersebut, si anak dengan nada ceria menyapanya.
“selamat malam tuan,”
Orang asing itu memandang si anak dengan ekspresi setengah heran setengah terkejut, lalu tanpa menghapus senyuman di wajahnya anak itu melanjutkan
“namaku Emilie, dan aku menjual korek api kayu, tuan. Apakah tuan berkenan membeli barang satu atau dua?”
Orang asing itu memandangi Emilie dengan heran, orang itu bingung harus bereaksi seperti apa
“namamu Emilie?” Tanya orang itu akhirnya
“benar sekali tuan,”
“dan kau menjual korek api kayu?”
“itu juga benar tuan, apakah anda berkenan membelinya?” jawab Emilie dengan senyuman yang ramah
“begini, Emilie, bukankah ini sudah terlalu larut untuk menjual korek api?”
“benar, tuan, tapi setidaknya aku harus menjual satu keranjang ini”
“berapa isi satu keranjang itu, nak?”
“seratus bungkus, tuan.”
“berapa yang sudah terjual?”
“baru tiga, tuan”
“hmm, begitu yaa” orang itu manggut-manggut sambil memegang dagunya, “kenapa tak kau jual besok lagi?”
“tak bisa tuan!!” jawab Emilie, hampir berteriak. Orang asing itu terkejut dengan sikap anak itu. “ma maafkan aku tuan” Emilie segera meminta maaf ketika melihat ekspresi wajah orang asing itu. Ekspresi terkejut yang aneh, sayangnya Emilie tak tahu keanehan apa yang sekilas dia rasakan itu.
“jadi kau tak bisa menjualnya besok, Emilie?” Tanya orang itu kemudian
“tak bisa tuan,”
“bisa kau jelaskan, kenapa?
“setidaknya aku harus pulang dengan uang hasil penjualan satu keranjang korek api, tuan, kalau tidak-“
Emilie tercekat, ia tak bisa melanjutkan ceritanya, ibunya bilang dia tak boleh menceritakan apa-apa kepada orang lain.
“tolong tuan, belilah korek apiku” kata Emilie memelas, ia berusaha mengalihkan pembicaraan.
“aku sangat ingin membantumu, Emilie, tapi aku juga tak punya uang.”
“kumohon, tuan” kata Emilie, dia hampir putus asa kali ini
Orang asing itu kemudian duduk di bangku itu, Emilie mengikuti orang itu dan duduk disebelahnya. Orang asing itu kemudian membuka tudung hoodienya, wajahnya yang begitu kurus terkena cahaya lampu taman yang ada dibelakang bangku itu, orang itu hanya memiliki beberapa helai rambut panjang yang menggantung dari kulit kepalanya. Rambutnya yang terlihat putih dan halus, wajahnya yang begitu kurus hingga terlihat seolah hanya tengkorak yang dibalut oleh kulit. Matanya begitu cekung kedalam, bola matanya hampir tak terlihat didalam cekungan itu. Orang itu menerawang jauh kedepan beberapa saat, kemudian dia menoleh kearah Emilie, anak itupun sedang menatap orang itu dengan raut muka penuh tanya.
“apa-apaan ekspresimu itu, nak?” Tanya orang itu kepada Emilie,
“jadi, apakah tuan berkenan membeli korek apiku?”
Orang itu tertawa terbahak-bahak mendengar pertanyaan Emilie,
“apa itu berarti tuan akan membeli korek apiku?” tanyanya lagi
“bukan, bukan itu, hmm, siapa namamu tadi?” orang itu berkata demikian dengan menahan tawanya
“Emilie, tuan”
“benar, Emilie. Begini, apa kau tak takut melihatku, Emilie?”
“anda tidak terlihat menakutkan, tuan” jawab anak itu polos
Orang itu tertawa lagi, kali ini lebih keras dan lebih lama dari tertawanya yang pertama.
“kumohon, tuan, belilah korek apiku”
“aku ingin membelinya, Emilie. Tapi aku tak membutuhkannya”
“kalau begitu belilah, tuan. Meski anda tak membutuhkannya”
“untuk apa, nak. Mahluk sepertiku tak butuh barang seperti itu”
Mendengar perkataan orang itu Emilie menundukkan wajahnya, dia mulai menyadari bahwa mungkin orang itu memang tak ingin membeli koreknya. Dia merasa terlalu memaksa, tapi Emilie yang merasa penasaran dengan perkataan orang tadi kemudian bertanya.
“apa maksud anda, dengan mengatakan bahwa mahluk seperti anda tak butuh barang seperti ini, tuan?”
“hmm, jadi kau menyadarinya dari perkataanku yaa. Sepertinya kau cukup cerdas, Emilie” kata orang itu
“baiklah, lihat ini” kata orang itu melanjutkan.
Orang itu lalu mengangkat tangan kirinya, kemudian mengacungkan telunjuknya keatas. Emilie memperhatikan apa yang orang itu lalukan, kemudian tiba-tiba, entah darimana datangnya muncul bola api kecil dari ujung jari orang tersebut, makin lama bola api itu semakin membesar. Hingga bola api itu berukuran sebesar bola voli. Emilie terpana melihat bola api itu.
“sekarang kau mengerti bahwa aku tak membutuhkan korek api itu, kan?” kata orang itu lagi.
“apa itu tuan?” Tanya Emilie keheranan, “bagaimana anda melakukannya?”
“tentu saja ini adalah api, Emilie, seperti yang kau lihat. Aku adalah penjaga maut, Emilie,”
“penjaga maut?”
“benar sekali, nak. Apakah kau pernah mendenagar bahwa sebenarnya api itu terbuat dari jiwa-jiwa manusia, jiwa-jiwa mereka yang telah tiada?”
“tidak, tuan, aku baru mendengarnya”
“begitu rupanya, kau belum pernah mendengar cerita seperti itu.”
“belum pernah, tuan.” Saat itu tiba-tiba Emilie merasa begitu lelah, dia begitu mengantuk hingga dia hampir terlelap, namun belum sempat Emilie memjamkan mata, dia mendengar Penjaga Maut berkata,
“kalau begitu, maukah kau mendengarnya dariku, Emilie?”
“tentu, tuan, tolong ceritakan kepadaku”
Emilie kemudian bersandar di bangku taman itu, sambil mendengarkan cerita orang asing yang baru ditemuinya tersebut. Orang yang menyebut dirinya sebagai Penjaga Maut itu menceritakan kisah tentang seseorang yang selalu berjalan di saat malam hari, orang itu berjalan menyusuri jalanan-jalanan kota, mengumpulkan jiwa-jiwa manusia yang dia temui di sepanjang jalan, lalu ketika fajar tiba orang itu akan berdiri menghadap matahari dengan menggenggam jiwa manusia yang telah dia kumpulkan, dengan cara itulah dia mengantarkan jiwa-jiwa itu ke asalnya. Energi dari jiwa-jiwa manusia itu kemudian menjelma menjadi api yang sering dimanfaatkan oleh manusia. Emilie sudah tak bisa lagi menahan rasa kantuknya, ketika kisah si Penjaga Maut itu selesai. Lalu sayup-sayup antara sadar dan tidak, Emilie mendengar Penjaga Maut berkata,
“tidurlah, Emilie, sudah waktunya jiwamu kembali menjadi api”
Emilie merasakan belaian lembut dikeningnya sebelum akhirnya dia terlelap, untuk selamanya. Fajar mulai menyingsing dari timur, perlahan-lahan matahari menyinari bangku taman itu. Si Penjaga Maut berdiri menghadap matahari, dia mengantarkan jiwa Emilie kembali, lalu perlahan dia pun menghilang menjadi kepulan asap tipis dipagi hari, tugasnya malam itu telah selesai. Kini jiwa Emilie bersemayam dalam kobaran api yang di nyalakan manusia atau dalam api yang meyala secara alami di alam.
-TAMAT-
Casino Table Games Near Me - MapyRO
BalasHapusFind Casino Table 동해 출장샵 Games Near Me, get directions, reviews and 강릉 출장샵 information for Casino Table Games 대전광역 출장안마 in Las Vegas, 평택 출장안마 NV. 이천 출장안마 Nearby Casino: Wynn and Palms.